BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 04 April 2011

Analisis Kasus Sejarah Peperangan Makassar dan Perjanjian Bongaya PART II


Kerajaan Makassar
Makassar merupakan pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini disebabkan karna letak wilayah Makassar yang strategis dan menjadi bandar penghubung antara Malaka, Jawa, dan Maluku. Lemahnya pengaruh Hindu-Buddha di kawasan ini menyebabkan nilai-nilai kebudayaan Islam yang dianut oleh masyarakat di Sulawesi Selatan menjadi ciri yang cukup menonjol dalam aspek kebudayaannya. Kerajaan Makassar mengembangkan kebudayaan yang didasarkan atas nilai-nilai Islam dan tradisi dagang. Berbeda dengan kebudayaan Mataram yang bersifat agraris, masyarakat Sulawesi Selatan memiliki tradisi merantau. Keterampilan membuat perahu phinisi merupakan salah satu aspek dari kebudayaan berlayar yang dimiliki oleh masyarakat Sulawesi Selatan.
Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1654-1660), Kerajaan Makassar mencapai puncak kejayaannya. Ia berhasil membangun Makassar menjadi kerajaan yang menguasai jalur perdagangan di wilayah Indonesia Bagian Timur. Pada masa Hasanuddin terjadi peristiwa yang sangat penting. Persaingan antara Goa-Tallo (Makassar) dengan Bone yang berlangsung cukup lama diakhiri dengan keterlibatan Belanda dalam Perang Makassar (1660-1669). Perang ini juga disulut oleh perilaku orang-orang Belanda yang menghalang-halangi pelaut Makassar membeli rempah-rempah dari Maluku dan mencoba ingin memonopoli perdagangan. Sebagai salah satu kota dan Bandar niaga di Asia Tenggara, Somba Opu memiliki setidak – tidaknya lima konsul dagang Eropa sebagai tempat perwakilan dagang Negara – Negara Eropa di kerajaan itu. Konsulat dagang yang ada di Somba Opu antara lain, Konsulat Portugis, Konsulat Denmark, Konsulat Inggris, Konsulat Spanyol dan Konsulat Belanda. Namun Konsulat Belanda menarik diri pada tahun 1661 karena perang.

Awal tahun 50an perusahaan - perusahaan ekspedisi Belanda berlomba-lomba mengirimkan armadanya untuk memperebutkan rempah Indonesia. Akibat persaingan itu adalah meningkatnya pengiriman rempah ke Eropa dan naiknya harga rempah. Untuk mengatasi persaingan dagang yang tidak sehat pada tahun 1602 perusahaan-perusahaan ekspedisi Belanda itu akhirnya melebur menjadi satu pada tanggal 20 Maret 1602 dengan nama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC atau Perserikatan Maskapai Hindia Timur). Dalam lidah kita persekutuan dagang itu dikenal dengan nama Kompeni (dari kata Compagnie). Namun perwakilan dagang VOC di Somba Opu tidak terlalu berkembang karena kekurangan modal dibandingkan dengan perwakilan – perwakilan dagang Eropa lainnya. Akibatnya perwakilan dagang VOC tutup. Memang, sementara volume perdagangan antara Gowa dengan Negara – Negara Eropa lainnya berkembang sedangkan VOC malah terancam bangkrut. Pedagang rempah di Maluku yang selama ini menjadi sumber utama VOC telah segan untuk berdagang dengan VOC karena memasok harga dibawah standar Somba Opu. Akibatnya ibukota Somba Opu semakin ramai dan semarak menjadi ajang tawar – menawar perdagangan. Dan oleh sebab itu juga Somba Opu menjadi incaran utama pedagang – pedagang dari Eropa untuk mendapatkan modal yang tinggi.
Alasan bangkrutnya VOC yaitu disebabkan karena mereka lagi berperang dengan Malaka. Sejak jatuhnya kerajaan Malaka ke tangan kompeni banyak pedagang asing yang merupakan saingan kompeni membangun ,usaha di Makassar yang merupakan pusat perdagangan. Melihat kejayaan kerajaan Makassar. Kompeni berniat hendak mematikan usaha – usaha dagang yang sungguh sangat maju dan semarak itu. Kompeni tidak tahan melihat perdagangan Cengkeh hasil dari Kepulauan Maluku yang di usahakan pedagang – pedagang Spanyol, Portugis, Inggris dan bangsa lain – lain berjalan sangat pesat di Somba Opu yang merupakan sebagai pelabuhan transito.
Pada tahun 1637 terjadi peperangan antara pedagang – pedagang asing (alinasi Portugis, Inggris, Spanyol, Denmark dan Francis) dengan Belanda karena mereka menilai Belanda telah merusak tata niaga perdagangan dan menentang prinsip – prinsip Perjanjian Eropa (West Phalia) dan Perjanjian Hiderabat. Sultan Hasanuddin yang merupakan raja dari Kerajaan Makassar pada saat itu membantu aliansi Eropa melawan Belanda dalam perang. Akibatnya kompeni Belanda terdesak di beberapa wilayah di Maluku dan Selat Makassar. Bantuan Raja Sultan Hasanuddin dipandang sebagai perang terbuka oleh kompeni. Akibatnya Belanda lebih mengkonsentrasikan diri untuk merebut kota dagang Somba Opu. Terjadilah peperangan selama puluhan tahun, namun pada akhir tahun 1667 Kerajaan Makassar menyerah maka raja Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya.
Dengan adanya daerah kekuasaan Makasar yang luas tersebut, maka seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasanuddin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar. Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku. Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur. Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar meminta bantuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar. Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
a. VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b. Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
c. Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
d. Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda. Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.
Perang Makasar (1666-1668) sebenarnya dipicu oleh perang dagang antara  Kerajaan Makasar yang menjadikan pelabuhannya bebas dikunjungi oleh kapal-kapal dari Eropa ataupun dari Asia dan Nusantara, dengan pihak VOC yang ingin memaksakan  monopoli. Pelabuhan Makasar dianggap menyaingi perniagaan VOC. Keinginan VOC  untuk mengontrol jalur  perniagaan laut, ditolak oleh Sultan Hasanuddin. Dalam  kebudayaan bahari yang dimiliki oleh orang Makasar, mereka memiliki filosofi bahwa  secara umum laut adalah milik bersama, siapapun boleh melayarinya.  Permintaan VOC agar Sultan menerima monopoli perdagangan di Makasar  itolak oleh Sultan Hasanuddin. Bahkan Sultan mengatakan:
“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, telah membagi-bagi daratan di antara  umat manusia. Tetapi mengaruniakan laut untuk semuanya. Tak pernah  kedengaran larangan buat siapapun untuk mengarungi lautan.”
Jawaban ini meneguhkan  semangat orang-orang Makasar untuk melawan  tindakan yang memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol  keamanan laut dan pelabuhan dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan.  Bahkan para penguasa juga menjadi kaya karena menjadi juragan atau pemilik kapal- kapal dagang. Namun sejak kekalahan dalam Perang Makasar banyak bangsawan,  saudagar, dan pelaut Makasar yang meninggalkan kampung halamannya pergi merantau  ke seluruh kepulauan Nusantara.
Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo  yang menjadi sekutu  Kerajaan Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora  dihancurkan oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke 18 antara Kerajaan Bone melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin  menambah besar jumlah penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan  Bugis generasi awal telah beradaptasi dengan baik di  lingkungan barunya. Kebanyakan  orang Bugis kemudian menetap di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya,  sementara orang Makasar di Jawa dan Madura. Sedangkan dalam jumlah kecil mereka  menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar  awalnya mengalami  kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di Jawa Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan Trunojoyo melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada  tahun 1679. Hal yang sama juga terjadi di Banten  ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten dengan 800 orang pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari SultanBanten, sampai kemudiaan ditinggalkan akibat perang antara VOC dan Banten tahun  1680.
Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan  sebagai musuh VOC dengan tidak mendukung  perlawanan penguasa setempat terhadap  VOC. Sehingga orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan  Bugis dan pengikutnya yang berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan  oleh Sultan Johor, Abd al-Jalil untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin  merebut tahta dengan bantuan Orang Laut. Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah kepulauan Riau sebagai tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para bangsawan Bugis ini kemudian membentuk kerajaan yang otonom  di  kepulauan Riau.
Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang akan masuk maupun keluar Pelabuhan Makassar mengalami kegagalan. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni dibantu olehpasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Angakatan laut VOC, yang dipimpin oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka mendarat din Bonthain dan berhasil mendorog suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667.
Factor penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan terhadap VOC.
Dengan disahkannya perjanjian Bongaya, maka Rakyat Gowa merasa sangat dirugikan oleh karena itu perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemas, sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat pada bulan Juni 1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut benteng pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa mempertahankannya dengan gagah berani.
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.
Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia.

Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Aru Palaka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar ( Yang berada dalam masa peralihan) ke Kalegowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah.
Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC, orang-orang Makassar merupakan para pengacau dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dan Makassar yang telah berjalan lama. Pada 1695, orang-orang Makassar melakukan pelarian dalam jumlah besar ke daerah Manggarai. Bahkan, perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669, setelah Kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada 1667.
Jawaban ini meneguhkan  semangat orang-orang Makasar untuk melawan  tindakan yang memaksakan kehendak, padahal sudah sejak lama, perniagaan laut di Asia Tenggara ini berjalan dengan sistem pasar bebas. Pihak penguasa hanya mengontrol  keamanan laut dan pelabuhan dengan menarik cukai atas bermacam mata dagangan.  Bahkan para penguasa juga menjadi kaya karena menjadi juragan atau pemilik kapal- kapal dagang. Namun sejak kekalahan dalam Perang Makasar banyak bangsawan,  saudagar, dan pelaut Makasar yang meninggalkan kampung halamannya pergi merantau  ke seluruh kepulauan Nusantara.

Sementara itu sebagaian besar bangsawan Bugis di Wajo  yang menjadi sekutu  Kerajaan Gowa-Tallo juga melakukan pengungsian setelah ibukota kerajaan di Tosora  dihancurkan oleh VOC. Peperangan yang terjadi kemudian pada pertengahan abad ke 18 antara Kerajaan Bone melawan Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Wajo juga makin  menambah besar jumlah penduduk yang mengungsi. Namun para pengungsi Makasar dan  Bugis generasi awal telah beradaptasi dengan baik di  lingkungan barunya. Kebanyakan  orang Bugis kemudian menetap di wilayah kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya,  sementara orang Makasar di Jawa dan Madura. Sedangkan dalam jumlah kecil mereka  menyebar hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Dalam proses awal adaptasi, Andaya melihat bahwa para pengungsi Makasar  awalnya mengalami  kegagalan karena sifat mereka terus memusuhi VOC, sehingga di Jawa Timur, Karaeng Galengsung dan pengikutnya, mendukung pemberontakan Trunojoyo melawan Mataram dan VOC, yang pada akhirnya mengalami kekalahan pada  tahun 1679. Hal yang sama juga terjadi di Banten  ketika Karaeng Bontomarannu tiba di Banten dengan 800 orang pengikutnya dan mendapatkan tempat tinggal dari SultanBanten, sampai kemudiaan ditinggalkan akibat perang antara VOC dan Banten tahun  1680.
Sebaliknya menurut Andaya, para pengungsi dari Bugis tidak memposisikan  sebagai musuh VOC dengan tidak mendukung  perlawanan penguasa setempat terhadap  VOC. Sehingga orang-orang Bugis ini relatif tidak dicurigai oleh VOC. Para bangsawan  Bugis dan pengikutnya yang berada di tanah Semenanjung Malaya justru diminta bantuan  oleh Sultan Johor, Abd al-Jalil untuk melawan saingannya, Raja Kecik, yang ingin  merebut tahta dengan bantuan Orang Laut. Setelah musuhnya berhasil dikalahkan, Sultan memberikan daerah kepulauan Riau sebagai tempat tinggal orang-orang Bugis. Pada abad ke-18, para bangsawan Bugis ini kemudian membentuk kerajaan yang otonom  di  kepulauan Riau.
Pertempuran antara rakyat Makassar dengan VOC terjadi. Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633. Pada tahun 1654 diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang akan masuk maupun keluar Pelabuhan Makassar mengalami kegagalan. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666-1667, pasukan kompeni dibantu olehpasukan Raja Bone (Arung Palakka) dan pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Angakatan laut VOC, yang dipimpin oleh Spleeman. Pasukan Arung Palakka mendarat din Bonthain dan berhasil mendorog suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin. Penyerbuan ke Makassar dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667.
Factor penyebab kegagalan rakyat Makassar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Arung Palakka. Membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan terhadap VOC.
Dengan disahkannya perjanjian Bongaya, maka Rakyat Gowa merasa sangat dirugikan oleh karena itu perangpun kembali berkecamuk. Pertempuran hebat itu membuat Belanda cemas, sehingga menambah bala bantuan dari batavia. Dalam pertempuran dahsyat pada bulan Juni 1669 yang cukup banyak menelan korban di kedua belah pihak, akhirnya Belanda berhasil merebut benteng pertahanan yang paling kuat di Somba Opu. Benteng Somba Opu diduduki Belanda sejak 12 Juni 1669 dan kemudian dihancurkan, setelah pasukan Gowa mempertahankannya dengan gagah berani.
Peperangan demi peperangan melawan Belanda dan bangsanya sendiri (Bone) yang dialami Gowa, membuat banyak kerugian. Kerugian itu sedikit banyaknya membawa pengaruh terhadap perekonomian Gowa. Sejak kekalahan Gowa dengan Belanda terutama setelah hancurnya benteng Somba Opu, maka sejak itu pula keagungan Gowa yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya akhirnya mengalami kemunduran.
Akibat perjanjian Bongaya, pada tahun 1667 sultan Hasanuddin Tunduk. Dalam perjanjian itu, nyatalah kekalahan Makassar. Pardagangannya telah habis dan negeri-negeri yang ditaklukkannya harus dilepaskan. Apalagi sejak Arung Palakka menaklukkan hampir seluruh daratan Sulawesi Selatan dan berkedudukan di Makassar, maka banyak orang Bugis yang pindah di Makassar. Sejak itu pula penjajahan Belanda mulai tertanam secara penuh di Indonesia.
Makassar, sebagai ibukota kerajaan Gowa mengalami pengalihan-pengalihan baik dari segi penguasaan maupun perkembangan-perkembangannya. Pengaruh kekuasaan gowa makin lama makin tidak terasa di kalangan penduduk Makassar yang kebanyakan pengikut Arung Palakka dan Belanda . benteng Somba Opu yang selama ini menjadi pusat politik menjadi kosong dan sepi. Pemerintahan kerajaan Gowa yang telah mengundurkan diri dari Makassar ( Yang berada dalam masa peralihan) ke Kalegowa dan Maccini Sombala tidak dapat dalam waktu yang cepat memulihkan diri untuk menciptakan stabilitas dalam negeri. Namun demikian Sultan Hasanuddin telah menunjukkan perjuangannya yang begitu gigih untuk membela tanah air dari cengkraman penjajah.

0 komentar: