BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 23 Mei 2011

Kelemahan Pengujian Materiil di MA

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil sudah waktunya diperbaiki karena mengandung kelemahan dalam praktik. Batas waktu 180 hari untuk mengajukan permohonan keberatan atas berlakunya suatu peraturan di bawah undang-undang dinilai sangat merugikan masyarakat.
Usulan untuk merevisi PERMA No 1 Tahun 2004 mencuat di sela-sela diskusi “Implementasi Pengawasan Perda oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung” yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) di Jakarta, Rabu (23/3). Hadir dalam diskusi itu perwakilan Bappenas, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, dan sejumlah pemerhati Peraturan Daerah (Perda).
Usulan itu muncul karena berdasarkan kajian yang dilakukan PSHK, juga oleh lembaga lain seperti Komnas Perempuan, banyak Perda bermasalah. Masalah bukan hanya menyangkut materi Perda yang bertentangan dengan peraturan lebih tinggi, tetapi juga mekanisme pembatalannya.
Dalam praktik sejak 2004, terjadi dualisme pembatalan Perda. Sebagian diputuskan melalui executive review di Kementerian Dalam Negeri, sebagian lagi melalui uji materiil di Mahkamah Agung. Dualisme ini terjadi karena inkonsistensi instrumen hukum yang mengatur Perda. “Mekanisme review Perda perlu ditinjau ulang,” kata M Nur Solikhin, peneliti PSHK.
PERMA No 1 Tahun 2004 diterbitkan semasa Ketua Mahkamah Agung Prof Bagir Manan. Beleid ini dibuat untuk menggantikan ketentuan tahun 1993 dan 1999. Berdasarkan PERMA ini, permohonan keberatan terhadap peraturan di bawah undang-undang dapat diajukan langsung ke Mahkamah Agung atau melalui pengadilan negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan pemohon.
Salah satu yang mendapat sorotan Solikhin adalah batas waktu 180 hari untuk mengajukan permohonan keberatan. Artinya, jika seseorang hendak mengajukan uji materiil Perda dan peraturan di bawah Undang-Undang lainnya ke Mahkamah Agung, permohonan itu belum melewati batas waktu 180 hari sejak dinyatakan berlaku. Jika lewat, permohonan akan kandas di tengah jalan. Menurut Solikhin, aturan ini bukan hanya membatasi tetapi juga berpotensi menghilangkan hak masyarakat yang merasa dirugikan atas berlakunya Perda. Bisa saja dampak negatif atau kelemahan suatu Perda baru tampak setelah melewati batas waktu 180 hari.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada dasarnya juga memuat mekanisme pengawasan Perda. Perumusan hak uji materil dalam PERMA belum mempertimbangkan Undang-Undang ini karena ada selisih waktu sekitar tujuh bulan. Undang-Undang Pemda disahkan Oktober 2004, sedangkan PERMA No 1 Tahun 2004 terbit pada Maret 2004. “Perma itu dibuat sebelum Undang-Undang Pemda 2004 terbit,” kata Solikhin.
Pelaksanaan pengujian juga dinilai masih menjadi masalah. Selama ini ada hambatan bagi masyarakat karena sidang pengujian yang cenderung ‘tertutup’. Ke depan, PERMA harus memberikan jaminan bahwa sidang pengujian Perda bersifat terbuka. Bahkan perlu menghadirkan para pihak ke dalam ruang sidang, mendengarkan keterangan ahli, seperti halnya sidang pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. PERMA belum mengakomodir kemungkinan itu.
Jika proses pengujian di Mahkamah Agung harus terbuka, pengujian oleh Kementerian Dalam Negeri untuk Perda Pajak dan Retribusi harus mendapat perlakuan sama. Undang-Undang Pemda juga belum mengakomodir kemungkinan hukum acara yang demikian.
Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh, mengakui sejak 2004 tidak ada perubahan sistem pengawasan Perda. Padahal lebih dari seribu Perda telah dibatalkan Kementerian Dalam Negeri sepanjang lima tahun terakhir.
Menurut Prof Zudan, ini merupakan saat yang tepat untuk mengkaji ulang sistem pengawasan Perda, karena bersamaan waktunya dengan revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

Mekanisme Pengujian atas Peraturan Perundang-undangan di bawah UU di MA

Pengaturan lebih lanjut yang menjabarkan pelaksanaan dari ketentuan pasal 5 ayat (2) dan (3) TAP MPR No. III tahun 2000 memang belum ada. Namun sebelum keluarnya TAP MPR tersebut Mahkamah Agung memang pernah mengeluarkan Perma meskipun hal tersebut belum diperbaharui kembali seiring dengan adanya pengaturan dalam TAP MPR No. III tahun 2000 yang menyatakan kewenangan Mahkamah Agung untuk dapat secara aktif melakukan pengujian atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tanpa perlu adanya proses kasasi terlebih dahulu.

Adapun pelaksanaan pengujian atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang Berdasarkan Perma No. 1 tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil adalah sebagai berikut:
1. Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan.

• Gugatan atau permohonan keberatan hanya dapat diajukan terhadap satu peraturan perundang-undangan, kecuali terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung.

2. Gugatan atau permohonan keberatan diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara:
a. Langsung ke Mahkamah Agung;
b. Melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat.

3. Gugatan atau permohonan keberatan diajukan dalam tenggat waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

4. Dalam hal gugatan atau permohonan keberatan diajukan secara langsung kepada Mahkamah Agung maka Kepaniteraan Mahkamah Agung akan memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada penggugat/pemohon keberatan atau kuasanya yang sah.

• Setelah berkas gugatan/permohonan keberatan tersebut lengkap, Panitera Mahkamah Agung menyampaikannya kepada Ketua Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung yang akan menangani gugatan/permohonan keberatan tersebut.

• Untuk pengujian peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada gugatan yang diajukan kepada Mahkamah Agung, setelah berkas gugatan diterima, diperiksa dan dinyatakan lengkap oleh Panitera Mahkamah Agung maka Panitera Mahkamah Agung juga wajib mengirimkan salinan gugatan tersebut kepada pihak tergugat setelah terpenuhinya kelengkapan berkasnya.

• Tergugat wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan gugatan tersebut.

5. Dalam hal gugatan/permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat maka Panitera Pengadilan Negeri akan memeriksa kelengkapan gugatan/permohonan keberatan yang telah didaftarkan dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada penggugat/pemohon keberatan atau kuasanya yang sah.

• Untuk pengujian peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri, setelah berkas gugatan diterima, diperiksa dan dinyatakan lengkap oleh Panitera Pengadilan Negeri maka Panitera Pengadilan Negeri mengirimkan salinan gugatan tersebut kepada pihak tergugat setelah terpenuhinya kelengkapan berkasnya.

• Tergugat wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan gugatan tersebut.

• Hari berikutnya setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari di atas, Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan segera meneruskan meneruskan gugatan dan jawaban penggugat kepada Mahkamah Agung untuk kemudian disampaikan Panitera Mahkamah Agung kepada Ketua Mahkamah Agung agar dapat ditetapkan Majels Hakim Agung yang akan menanganinya.

6. Gugatan/permohonan keberatan diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim Agung dengan menerapkan ketentuan yang berlaku bagi perkara gugatan/permohonan keberatan dalam waktu sesingkat-singkatnya sesuai dengan azas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

7. Dalam hal gugatan/permohonan keberatan itu beralasan karena peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka Mahkamah Agung akan mengabulkan gugatan tersebut. Mahkamah Agung akan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah dan tidak berlaku untuk umum serta memerintahkan pencabutannya kepada instansi yang bersangkutan.

• Dalam hal gugatan dinilai tidak beralasan maka Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut akan menolak gugatan/permohonan keberatan tersebut.

8. Pemberitahuan salinan putusan Mahkamah Agung terhadap gugatan/permohonan keberatan disampaikan dengan surat tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, pemberitahuan salinannya disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri tersebut.

9. Dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung dikirim kepada tergugat (dalam hal pengujian diajukan berdasarkan gugatan) / badan atau Penjabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan tersebut (dalam hal pengujian diajukan berdasarkan permohona keberatan) tidak melaksanakan kewajiban untuk mencabut peraturan yang bersangkutan maka demi hukum peraturan perundang-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

10. Putusan Majelis Hakim Agung atas gugatan/permohonan keberatan atas suatu peraturan perundangan-undangan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.

Jumat, 13 Mei 2011

Kepemimpinan

Nama : Win Achjani
Nim : 07.11.338
Kelas : Man SDM Pagi
PENDAHULUAN
Allah SWT menciptakan manusia untuk patuh dan tunduk kepada-Nya. Juga manusia ini diciptakan Allah SWT untuk menjadi pemimpin di muka bumi dan menyeru kepada amar ma’ruf nahi munkar.
Masalah kepemimpinan merupakan persoalan yang sangat penting dan strategis. Karena ia sangat menentukan nasib sebuah masyarakat dan bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa salah satu ciri masyarakat yang unggul dan menguasai peradaban adalah masyarakat yang memiliki pemimpin yang berwibawa, tegas, adil, berpihak pada kepentingan rakyat, memiliki visi yang kuat dan mampu menghadirkan perubahan ke arah yang lebih baik. Ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan variabel yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara. Al Qur’an telah banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Islam telah mengingatkan umatnya untuk berhati-hati di dalam memilih pemimpin. Sebab salah dalam memilih pemimpin berarti turut berkontribusi dalam menciptakan kesengsaraan rakyat. Tanggung jawab seorang pemimpin sangat besar, baik di hadapan Alah maupun di hadapan manusia.
Bicara soal “pemimpin” persepsi kita selama ini memang terbatas hanya pada orang-orang yang memiliki jabatan dalam organisasi/instansi atau lembaga tertentu. Padahal yang disebut pemimpin bukan hanya mereka. Sesungguhnya kita semua adalah pemimpin, sebagaimana ditegaskan dalam hadits diatas. Meskipun dalam sekala paling kecil.
Beberapa profesi dibawah ini juga mengemban tugas kepemimpinan, namun kita sering melupakan bahwa mereka sebenarnya pemimpin.
Guru / Ustadz adalah pemimpin bagi muridnya. 
Mandor adalah pemimpin bagi kuli – kulinya.
Sopir adalah pemimpin bagi segenap penumpang dalam kendaraannya.
Juru parkir / Satpam adalah pemimpin dalam area tugasnya.
Hakim adalah pemimpin dalam persidangan. 
Ayah adalah pemimpin dalam keluarganya. 
Seorang kakak pun dengan sendirinya adalah pemimpin bagi adik-adiknya. 
Mereka semua juga wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinan mereka. Bahkan sekali pun hanya seorang diri, kita juga pemimpin. Setidaknya kita harus mengendalikan hawa nafsu kita, dan mengontrol perilaku atau anggota badan kita sendiri, yang kesemuanya itu kelak harus kita pertanggungjawabkan kepada Allah SWT.
Dengan demikian, setiap orang Islam harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dan segala tindakannya tanpa didasari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu. Akan tetapi, pemimpin yang adil dan betul-betul memperhatikan dan berbuat sesuai dengan aspirasi rakyatnya, sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT. Dalam Al-Qur’an.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ…
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan…’’

…وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya:
“…Hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.”
Ayat diatas jelas sekali memerintahkan untuk berbuat adil kepada setiap pemimpin apa saja dan dimana saja. Seorang raja misalnya, harus berusaha untuk berbuat seadil-adilnya dan sebijaksana mungkin sesuai dengan perintah Allah SWT. Dalam meminpin rakyatnya sehingga rakyatnya hidup sejahtera.
Sebaliknya, apabila raja berlaku semena-mena, selalu bertindak sesuai kemauannya, bukan didasarkan peraturan yang ada, rakyat akan sengsara. Dengan kata lain, pemimpin harus menciptakan keharmonisan antara dirinya dengan rakyatnya sehingga ada timbal balik diantara keduanya.
Begitu pula para suami, isteri, penggembala dan siapa saja yang memiliki tanggung jawab dalam memimpin harus berusaha untuk berlaku adil dalam kepemimpinannya sehingga ia mendapat kemuliaan sebagaimana janji Allah SWT. Yang disebutkan dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW. Bahwa para pemimpin seperti itu (yang adil) termasuk salah satu golongan dari tujuh golongan yang akan memperoleh naungan, kecuali Arasy di hari kiamat, yakni pada hari yang tidak ada naungan kecuali atas izin Allah SWT.
Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanah oleh Allah SWT. Untuk memimpin rakyatnya, yang diakhirat kelak akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah SWT sebagaimana telah dijelaskan diatas. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya, karena ketidak adilannya, misalkan, ia tidak akan mampu meloloskan diri tuntutan Allah SWT kelak di akhirat.
Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap dirinya sebagai manusia super yang bebas berbuat dan memerintah apa saja kepada rakyatnya. Akan tetapi sebaliknya, ia harus berusaha memosikan dirinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran :
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya :
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman”
Dalam sebuah hadits yang diterima dari Siti Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi SAW pernah berdoa, “Ya Allah, siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku lalu mempersulit mereka, maka persulitlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku dan berlemah lembut kepada mereka, maka permudahlah baginya.”
Hal itu menunjukkan bahwa Allah dan Rasul-Nya sangat peduli terhadap hamba- Nya agar terjaga dari kezaliman para pemimpin yang kejam dan tidak bertanggung jawab. Pemerintah yang kejam dikategorikan sebagai sejahat-jahatnya pemerintah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
وَعَنْ عَائِذَ بْنَ عَمْرٍو رضي الله عنه أَنَّهُ دَخَلَ على عُبَيْدِ الله بْنِ زِيَادٍ قَالَ : يَا بُنيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إِنَّ شَرَّ الرُّعَاءِ الحُطَمَةُ ، فَإِيَّاكَ أَنْ لاَ تَكُونَ مِنْهُمْ.
Artinya :
“A’idz bin Amru r.a. ketika memasuki rumah Ubaidillah bin Ziyad, ia berkata, Hai anakku saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya sejahat-jahatnya pemerintah yaitu yang kejam, maka janganlah kau tergolong dari mereka” (H.R. Muslim)

Pemimpin zalim yang tidak mau mengayomi dan melayani rakyatnya diancam tidak akan pernah mencium harumnya surga apalagi memasukinya, sebagaimana disebutkan pada hadits diatas.
Oleh karena itu, agar kaum muslim terhindar dari pemimpin yang zalim, berhati-hatilah dalam memilih seorang pemimpin. Pemilihan pemimpin harus betul-betul yang didasarkan pada kualitas, loyalitas dan yang paling penting adalah perilaku keagamaannya. Jangan memilih mereka karena didasarkan pada rasa emosional, baik karena ras, suku bangsa, ataupun keturunan kerena jika mereka tidak dapat memimpin, rakyatlah yang akan merasakan kerugiannya.
Menurut Quraish Shihab, dari celah ayat-ayat Al-Quran ditemukan sedikitnya du pokok sifat yang harus disandang oleh seseorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal tersebut harus diperhatikan dalam menentukan seorang pemimpin. Salah satu ayat yang menerangkan tentang hal itu adalah ungkapan putri Nabi Syu’aib yang dibenarkan dan diabadikan Al-Quran :
…إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Artinya :
“Sesungguhnya orang yang paling baik engkau tugaskan adalah yang kuat lagi dipercaya”
Kedua kriteria itu yang menjadi landasan utama ketika Abu Bakar r.a. menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai ketua panitia pengumpulan Mushaf. Alasannya antara lain tersirat dalam ungkapannya, “Engkau seorang pemuda (kuat lagi bersemangat) dan telah dipercaya oleh Rasulullah SAW untuk menulis wahyu. Bahkan Allah SWT pun memilih Jibril sebagai pembawa wahyu-Nya, antara lain, karena malaikat Jibril memilki sifat kuat dan terpercaya.
Kedudukan seorang pemimpin sangat tinggi dalam agama Islam, sehingga ketaatan kepada mereka pun disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Namun demikian, bukan berarti ketaatan yang tampa batas karena kewajiban taat pada seorang pemimpin hanyalah dalam hal-hal yang tidak berhubungan dengan kemaksiatan (dosa), sebagaimana dijelaskan dalam hadits pertama. Apabila pemimpin memerintahkan bawahannya berbuat dosa, perintah itu tidaklah wajib ditaati, bahkan bawahannya harus mengingatkannya.
Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah memerintahkan seorang bekas budak untuk menggunakan kulit kambing yang telah mati, tetapi budak tersebut tidak menuruti perintah Rasulullah SAW. Ia beranggapan bahwa menggunakan kulit kambing adalah haram sebagaimana diharamkan memakannya. Nabi kemudian menjelaskan kepadanya bahwa mempergunakan kulit binatang yang mati tidak diharamkan.
Sikap bekas budak tersebut menunjukkan bahwa ia tidak mau taat kepada pemimpin sekalipun kepada Rasulullah SAW, kalu ia menganggap bahwa perintah tersebut untuk melakukan perbuatan maksiat. Ia menganggap bahwa Rasulullah memerintahkannya untuk berbuat maksiat dengan menyuruhnya mempergunakan kulit kambing yang mati.
Begitu pula pada hadits kedua, para sahabat tidak mau menuruti perintah pemimpinnya waktu mereka diperintahkan masuk ke dalam api, karena perintah seperti itu mereka anggap tidak benar. Ternyata perbuatan para sahabat yang menentang perintah pimpinan mereka tersebut dibenarkan Rasulullah SAW.
PENUTUP
Menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut,karena kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu.
Dalam Islam sudah ada aturan-aturan yang berkaitan dengan hal tersebut, diantaranya sebagai berikut:
1. Niat yang Lurus
Hendaklah saat menerima suatu tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan. Lalu iringi hal itu dengan mengharapkan keridhaan-Nya saja.Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
2. Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin.Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
3. Berpegang pada Hukum Allah
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah berfirman,”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49). Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dicopot dari jabatannya.
4. Memutuskan Perkara Dengan Adil
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
5. Tidak Menerima Hadiah
Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati. Oleh karena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya.Rasulullah bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).
6. Mencari Pemimpin yang Baik
Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan seorang khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan pejabat (pembantu).Yaitu pejabat yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pejabat yang menyuruh kepada kemungkaran dan mendorongnya ke sana.Maka orang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).

7. Lemah Lembut
Doa Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.

akhirx sy pux anti Virus "ARTAV"..

Kepemimpinan dalam Islam


Nama : Win Achjani
Nim : 07.11.338
Kelas : Man SDM Pagi
PENDAHULUAN
Allah SWT menciptakan manusia untuk patuh dan tunduk kepada-Nya. Juga manusia ini diciptakan Allah SWT untuk menjadi pemimpin di muka bumi dan menyeru kepada amar ma’ruf nahi munkar.
Masalah kepemimpinan merupakan persoalan yang sangat penting dan strategis. Karena ia sangat menentukan nasib sebuah masyarakat dan bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa salah satu ciri masyarakat yang unggul dan menguasai peradaban adalah masyarakat yang memiliki pemimpin yang berwibawa, tegas, adil, berpihak pada kepentingan rakyat, memiliki visi yang kuat dan mampu menghadirkan perubahan ke arah yang lebih baik. Ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan variabel yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara. Al Qur’an telah banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Islam telah mengingatkan umatnya untuk berhati-hati di dalam memilih pemimpin. Sebab salah dalam memilih pemimpin berarti turut berkontribusi dalam menciptakan kesengsaraan rakyat. Tanggung jawab seorang pemimpin sangat besar, baik di hadapan Alah maupun di hadapan manusia.
Bicara soal “pemimpin” persepsi kita selama ini memang terbatas hanya pada orang-orang yang memiliki jabatan dalam organisasi/instansi atau lembaga tertentu. Padahal yang disebut pemimpin bukan hanya mereka. Sesungguhnya kita semua adalah pemimpin, sebagaimana ditegaskan dalam hadits diatas. Meskipun dalam sekala paling kecil.
Beberapa profesi dibawah ini juga mengemban tugas kepemimpinan, namun kita sering melupakan bahwa mereka sebenarnya pemimpin.
Guru / Ustadz adalah§ pemimpin bagi muridnya. §
Mandor adalah§ pemimpin bagi kuli – kulinya.§
Sopir adalah§ pemimpin bagi segenap penumpang dalam kendaraannya.§
Juru parkir / Satpam adalah§ pemimpin dalam area tugasnya.
Hakim adalah§ pemimpin dalam persidangan. §
Ayah adalah§ pemimpin dalam keluarganya. §
Seorang kakak pun dengan sendirinya adalah§ pemimpin bagi adik-adiknya. §
Mereka semua juga wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinan mereka. Bahkan sekali pun hanya seorang diri, kita juga pemimpin. Setidaknya kita harus mengendalikan hawa nafsu kita, dan mengontrol perilaku atau anggota badan kita sendiri, yang kesemuanya itu kelak harus kita pertanggungjawabkan kepada Allah SWT.
Dengan demikian, setiap orang Islam harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dan segala tindakannya tanpa didasari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu. Akan tetapi, pemimpin yang adil dan betul-betul memperhatikan dan berbuat sesuai dengan aspirasi rakyatnya, sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT. Dalam Al-Qur’an.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ…
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan…’’

…وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya:
“…Hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.”
Ayat diatas jelas sekali memerintahkan untuk berbuat adil kepada setiap pemimpin apa saja dan dimana saja. Seorang raja misalnya, harus berusaha untuk berbuat seadil-adilnya dan sebijaksana mungkin sesuai dengan perintah Allah SWT. Dalam meminpin rakyatnya sehingga rakyatnya hidup sejahtera.
Sebaliknya, apabila raja berlaku semena-mena, selalu bertindak sesuai kemauannya, bukan didasarkan peraturan yang ada, rakyat akan sengsara. Dengan kata lain, pemimpin harus menciptakan keharmonisan antara dirinya dengan rakyatnya sehingga ada timbal balik diantara keduanya.
Begitu pula para suami, isteri, penggembala dan siapa saja yang memiliki tanggung jawab dalam memimpin harus berusaha untuk berlaku adil dalam kepemimpinannya sehingga ia mendapat kemuliaan sebagaimana janji Allah SWT. Yang disebutkan dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW. Bahwa para pemimpin seperti itu (yang adil) termasuk salah satu golongan dari tujuh golongan yang akan memperoleh naungan, kecuali Arasy di hari kiamat, yakni pada hari yang tidak ada naungan kecuali atas izin Allah SWT.
Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanah oleh Allah SWT. Untuk memimpin rakyatnya, yang diakhirat kelak akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah SWT sebagaimana telah dijelaskan diatas. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya, karena ketidak adilannya, misalkan, ia tidak akan mampu meloloskan diri tuntutan Allah SWT kelak di akhirat.
Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap dirinya sebagai manusia super yang bebas berbuat dan memerintah apa saja kepada rakyatnya. Akan tetapi sebaliknya, ia harus berusaha memosikan dirinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran :
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Senin, 09 Mei 2011

TEORI JOHN RAWLS

TEORI JOHN RAWLS “JUSTICE AS FAIRNESS”
John Rawls dikenal sebagai seorang filsuf yang secara keras mengkritik ekonomi pasar bebas. Baginya pasar bebas memberikan kebebasan bagi setiap orang, namun dengan adanya pasar bebas maka keadilan sulit untuk ditegakkan. Oleh karena hal ini, ia mengembangkan sebuah teori yag disebut teori keadilan. Menurut Rawls, prinsip paling mendasar dari keadilan adalah bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dari posisi-posisi mereka yang wajar. Karena itu, supaya keadilan dapat tercapai maka struktur konstitusi politik, ekonomi, dan peraturan mengenai hak milik haruslah sama bagi semua orang. Situasi seperti ini disebut "kabut ketidaktahuan" (veil of ignorance), di mana setiap orang harus mengesampingkan atribut-atribut yang membedakannya dengan orang-orang lain, seperti kemampuan, kekayaan, posisi sosial, pandangan religius dan filosofis, maupun konsepsi tentang nilai
Untuk mengukuhkan situasi adil tersebut perlu ada jaminan terhadp sejumlah hak dasar yang berlaku bagi semua, seperti kebebasan untuk berpendapat, kebebasan berpikir, kebebasan berserikat, kebebasan berpolitik, dan kebebasan di mata hukum. Pada dasarnya, teori keadilan Rawls hendak mengatasi dua hal yaitu utilitarianisme dan menyelesaikan kontroversi mengenai dilema antara liberty (kemerdekaan) dan equality (kesamaan) yang selama ini dianggap tidak mungkin untuk disatukan Rawls secara eksplisit memposisikan teorinya untuk menghadapi utilitarianisme, yang sejak pertengahan abad 19 mendominasi pemikiran moralitaspolitik normatif liberalisme
Di dalam perkembangan pemikiran filsafat hukum dan teori hukum, tentu tidak lepas dari konsep keadilan. Konsep keadilan tindak menjadi monopoli pemikiran satu orang ahli saja. Banyak  para pakar dari berbegai didiplin ilmu memberikan jawaban apa itu keadilan. Thomas Aqunas, Aristoteles, John Rawls, R. Dowkrin, R. Nozick dan Posner sebagian nama yang memberikan jawaban tentang konsep keadilan.
Dari beberapa nama tersebut John Rawls, menjadi salah satu ahli yang selalu menjadi rujukan baik ilmu filsafat, hukum, ekonomi, dan politik di seluruh belahan dunia, tidak akan melewati teori yang dikemukakan oleh John Rawls. Terutama melalui karyanya A Theory of Justice, Rawls dikenal sebagai salah seorang filsuf Amerika kenamaan di akhir abad ke-20. John Rawls dipercaya sebagai salah seorang yang memberi pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus mengenai nilai-nilai keadilan hingga saat ini.
Akan tetapi, pemikiran John Rawls tidaklah mudah untuk dipahami, bahkan ketika pemikiran itu telah ditafsirkan ulang oleh beberapa ahli, beberapa orang tetap menggap sulit untuk menangkap konsep kedilan John Rawls. Maka, tulisan ini mencoba memberikan gambaran secara sederhana dari pemikiran John Rawls, khususnya dalam buku A Theory of Justice. Kehadiran penjelasan secara sederhana menjadi penting, ketika disisi lain orang mengangap sulit untuk memahami konsep keadilan John Rawls.
Teori keadilan Rawls dapat disimpulkan memiliki inti sebagai berikut:
1.      Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri,
2.      Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social goods”). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat dizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.
3.      Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.
Untuk memberikan jawaban atas  hal tersebut, Rows melahirkan 3 (tiga) prinsip keadilan, yang sering dijadikan rujukan oleh beberapa ahli yakni:
1.                  Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
2.                  Prinsip perbedaan (differences principle)
3.                  Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Rawls berpendapat jika terjadi benturan (konflik), maka: Equal liberty principle harus diprioritaskan dari pada prinsip-prinsip yang lainnya. Dan, Equal opportunity principle harus diprioritaskan dari pada differences principle.
Dariman tiga prinsip tersebut dilahirkan? Untuk memahami hal tesebut, kita dapat mulai dari gambar dibawah ini.
http://ilhamendra.files.wordpress.com/2010/10/bagan-keadilan-raws.jpg?w=500&h=247
Pembahasan dibawah ini, akan mengacu kepada penomoran yang terdapat pada gambar di atas.

Poin 1.
Keadilan adalah Kejujuran (Justice as Fairness) Masyarakat adalah kumpulan individu yang di satu sisi menginginkan bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kumpulan individu  – tetapi disisi yang lain – masing-masing individu memiliki pembawaan serta hak yang berbeda yang semua itu tidak dapat dilebur dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu Rows mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan, bagaimana mempertemukan hak-hak dan pembawaan yang berbeda disatupihak dengan keinginan untuk bersama demi terpenuhnya kebutuhan bersama?

Poin 2
Selubung Ketidaktahuan  (Veil of Ignorance)
Ø  Setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang.
Ø  Orang-orang atau kelompok yang terlibat dalam situasi yang sama tidak mengetahui konsepsi-konsepsi mereka tentang kebaikan.

Poin 3
Posisi Original (Original Position)
Ø  Situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat
Ø  Tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya.
Ø  Pada keadaan ini orang-orang dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang.
“Posisi Original” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri Rasionalitas (rationality), Kebebasan (freedom), dan Persamaan (equality). Guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).

Poin 4
Prinsip Kebebasan yang Sama (equal liberty principle)
Setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain. “Setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang sama”
Dalam hal ini kebebasan-kebebasan dasar yang dimaksud antara lain:
Ø  kemerdekaan berpolitik (political of liberty),
Ø  kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression),
Ø  kebebasan personal (liberty of conscience and though).
Ø  kebebasan untuk memiliki kekayaan (freedom to hold property)
Ø  Kebebasan dari tindakan sewenang-wenang.

Poin 5
Prinsip Ketidaksamaan (inequality principle)
Ø  Difference principle (prinsip perbedaan) – Ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan.
Ø  Equal opportunity principle (prinsip persamaan kesempatan)- Jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil.
Jadi sebenarnya ada 2 (dua) prisip keadilan Rows, yakni equal liberty principle dan inequality principle. Akan tetapi inequality principle melahirkan 2 (dua) prinsip keadilan yakni Difference principle dan Equal opportunity principle, yang akhirnya berjunlah menjadi 3 (tiga) prisip, dimana ketiganya dibangun dari kotrusi pemikiran Original Position.

Minggu, 08 Mei 2011

Pulau Windscale


1.  Masalah yang di Persengketakan Para Pihak ?
Masalah yang dipersengketakan pada kasus ini adalah terjadinya perang antara Plumbland dan Rydal pecah atas hal-hal yang tidak terkait ke Kepulauan. Ketika Plumbland kalah perang dengan Rydal pada tahun 1821 itu digugat untuk perdamaian. Perjanjian Great Corby ditandatangani pada tanggal 22 September 1821. Dalam ketentuan Perjanjian Raja Piero mengalihkan kedaulatan atas Kepulauan ia dimiliki untuk Rydal.
Rydal telah gagal menghormati prinsip-prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan . Tujuan utama dari penandatanganan perjanjian antara pihak-pihak adalah untuk "fokus pada hal-hal lebih saling menguntungkan signifikan". Pembukaan perjanjian menggunakan prinsip saling menguntungkan. Dengan menolak tawaran MDR oleh Rydal telah menunjukkan bahwa itu adalah fokus pada isu-isu politik, bukan pada saling menguntungkan para pihak. Roco tawaran yang ditawarkan hanya 45% dari hasil bersih ke Kepulauan. Sebaliknya, tawaran MDR sudah termasuk pembayaran dimuka sebesar US $ 500 juta dan berjanji akan membayar 50% dari hasil bersih ke Kepulauan. Meskipun, tawaran MDR itu jelas lebih baik, tawaran Roco adalah dipilih tanpa penjelasan yang masuk akal. Akibatnya, hal ini terlihat bahwa keputusan itu tidak menguntungkan bagi pihak pada perjanjian internasional.

2.  Fakta – Fakta
Rydal menemukan Kepulauan pada tahun 1777 dan meninggalkan di belakang bendera Rydal dan batu ukiran menyatakan kedaulatan Rydalian. Kurang dari setahun kemudian Plumbland terlalu menemukan Kepulauan.  Setelah penemuan, Raja Muda dari Aspatria dikirim pasukan untuk menyelesaikan dan mengklaim Kepulauan dengan membangun  permukiman dan benteng.
Dua puluh satu tahun kemudian (tahun 1799) pasukan ini diperintahkan untuk kembali ke Aspatria  Mereka meninggalkan di belakang bendera Plumbland dan pemberitahuan yang menyatakan Sebuah kapal Rydalian, yang Applethwaite HMS, terdampar di Kepulauan tahun 1813. Yang selamat dari kecelakaan membangun pemukiman sementara sementara di Rydal mereka berpikir hilang di laut. Lain pengunjung yang tidak disengaja, budak Sodorian Kapal Unthank, hanyut ke dalam sementara  penyelesaian's pelabuhan tahun 1815. Semua kapal kelaparan dan setelah menerima bantuan bersumpah  Wakil Raja Aspatria berusaha untuk mendirikan koloni hukuman di Kepulauan in1817 tetapi dihentikan oleh Rydalians terdampar. Setelah mengetahui kehadiran Rydal dari Aspatrian nya  Raja muda, Plumbland Raja memprotes pendudukan wilayah Plumbland untuk Rydal. Rydal's Ratu, pada gilirannya, menegaskan kekuasaan-nya, memeluk tindakan yang selamat dan mengirim orang HMS Braithwaite dengan Gubernur pertama dari Kepulauan.
Pada 1821, setelah kalah perang tidak berhubungan, Aspatria gagal untuk merebut kembali Kepulauan secara paksa pada tahun 1826 dan sejak itu secara rutin mengulangi nya  klaim dan protes tindakan tidak konsisten dengan kedaulatannya atas Kepulauan. Sebuah periode tiga puluh tahun melihat Aspatria, menderita serangkaian kudeta, menjadi diplomatis diam tapi protes dilanjutkan setelah pemulihan stabilitas politik-ekonomi pada tahun 1911. Saat ini populasi kecil Kepulauan terdiri dari keturunan dari Applethwaite HMS, HMS Braithwaite, The Unthank, dan imigran terutama Rydalian Aspatrian Hubungan dengan Kepulauan  Pada akhir 1930-an, Aspatria dan Kepulauan telah dimulai perdagangan.
 Sementara Rydal dikenakan bea atas perdagangan dari Aspatria ke Kepulauan, Aspatria tidak memberlakukan bea atas barang-barang dari Kepulauan. Aspatria selalu memperlakukan semua orang yang lahir di Kepulauan sebagai warga negara yang dengan bebas bisa Aspatrian masukkan Aspatria. Namun Rydal mengharuskan Aspatrians hadir paspor untuk memasuki Kepulauan.
Politik Pengembangan Kepulauan Pada tahun 1947 Kepulauan diberi konstitusi yang disediakan untuk sebuah Majelis Kepulauan ("Majelis") kontrol memiliki, tergantung persetujuan Gubernur Rydalian yang ditunjuk, lebih dari hari sehari-hari pemerintahan termasuk eksploitasi sumber daya alam.  Rydal ditunjuk Kepulauan suatu wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri pada 1945 ketika bergabung dengan United Bangsa ("PBB"). Setelah bergabung dengan PBB pada tahun 1949, Duta Besar Aspatrian mengirim nota diplomatik kepada Sekretaris-Jenderal menyerukan masyarakat internasional untuk mengakui Aspatria's  kedaulatan atas Kepulauan dan untuk memanggil Rydal untuk menyerahkan administrasi Kepulauan untuk Aspatria. Komite Khusus PBB tentang Situasi berkenaan dengan Pelaksanaan Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan ke Negara Kolonial dan Masyarakat ("Komite") telah teratur dianggap sengketa Kepulauan, dan telah menyatakan keprihatinan untuk kepentingan dari Kepulauan. Sepanjang tahun 1980 sebuah delegasi dari Kepulauan disampaikan kepada Komite keinginannya untuk tetap Rydalian. 1997 Penemuan minyak di sekitar Kepulauan energi sebuah gerakan kemerdekaan disebut Kepulauan Merindukan Kedaulatan dan Otonomi ("ILSA"). ILSA melihat minyak sebagai cara untuk menjadi sebuah negara independen yang layak.




3.  Argumentasi Para Pihak
Aspatria meminta Pengadilan untuk menghukum dan menyatakan bahwa:
(1)     Rydal tidak mungkin secara sah mengambil langkah-langkah memberlakukan kemerdekaan dari Kepulauan Windscale dan harus menyerahkan administrasi atas Kepulauan untuk Aspatria karena:
(A)  kedaulatan atas Kepulauan milik Aspatria; dan
(B)  Kepulauan tidak berhak untuk kemerdekaan berdasarkan prinsip penentuan nasib sendiri.
     (2) Rydal penolakan terhadap tawaran MDR's merupakan suatu pelanggaran dari BIT             Aspatria-Rydal.
     (3) Rydal tidak harus berdiri untuk memohon BIT Aspatria-Rydal untuk melindungi aset           dari Alec, perusahaan Aspatrian, dan dalam hal apapun, Aspatria tidak melanggar BIT          Aspatria-Rydal.
Rydal meminta Pengadilan untuk menghukum dan menyatakan bahwa:
(1) Rydal diijinkan di bawah hukum internasional untuk mengambil langkah-langkah memberlakukan kemerdekaan bagi Kepulauan Windscale karena:
(A) kedaulatan atas Kepulauan milik Rydal, dan / atau
(B) Kepulauan berhak untuk kemerdekaan sebagai pelaksanaan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.
(2) Rydal penolakan terhadap tawaran MDR tidak melanggar BIT Aspatria-Rydal.
(3) Rydal telah berdiri untuk memohon BIT Aspatria-Rydal untuk melindungi aset dari sebuah perusahaan Rydalian di Aspatria dan penyitaan aset tersebut merupakan pelanggaran dari BIT Aspatria-Rydal.





4.  Dasar – Dasar Pertimbangan Hakim
Mahkamah Agung Kanada dalam kasus Secession Referensi Re Quebec ditemukan, bahwa hukum internasional membutuhkan penegakan hak untuk menentukan nasib sendiri dalam negara merdeka yang ada bersamaan dengan pemeliharaan integritas teritorial sebuah negara. Prinsip penentuan nasib sendiri terletak pada integritas teritorial, karena tidak berlaku dalam situasi ketika koloni atau wilayah tidak berpemerintahan sendiri sudah menjadi merdeka dan berdaulat.
Seperti yang dicatat oleh Hakim Huber dalam kasus Las Palmas. Pertama-tama, ia menolak anggapan bahwa hukum internasional pada waktu itu diakui judul dengan penemuan saja. Ia juga menunjukkan bahwa penemuan hanya memberikan judul yang belum lengkap akan selesai dalam waktu yang wajar oleh pendudukan efektif daerah yang bersangkutan. Ini berarti bahwa jika tindakan penemuan ini tidak diikuti dalam jangka waktu yang wajar oleh aksi pendudukan yang efektif, judul potensi untuk wilayah diberikan oleh penemuan tidak menyampaikan kedaulatan penuh.
.           Prinsip ini ditegaskan oleh Mahkamah Internasional penghakiman Keadilan di Burkina Faso 1986-v Kasus Mali: "[Uti possidetis] adalah prinsip umum, yang secara logis dihubungkan dengan fenomena mendapatkan kemerdekaan, di mana pun itu terjadi. tujuan yang jelas adalah untuk mencegah kemerdekaan dan stabilitas negara-negara baru yang terancam oleh perjuangan berkenaan dgn pembunuhan saudara yang dipicu oleh perubahan perbatasan setelah penarikan kekuatan penyelenggara ".
5.  Dissenting Opinion
v  Penghakiman dalam kasus ELSI menegaskan aturan bahwa kelelahan membutuhkan kelelahan dari semua obat yang wajar. Alec sebagai pihak yang terluka diduga tidak habis semua solusi yang mungkin dan masuk akal. Pada tanggal 16 November 2007, Jaksa Penuntut Umum Aspatria mengajukan tuntutan pidana terhadap Alec, Alec menuduh melanggar NRA. Kasus pidana yang mendasari belum mencapai keputusan akhir.
v  Prinsip dasar hukum internasional yang memberikan hak suatu Negara untuk melindungi rakyatnya dari perbuatan yang bertentangan dengan hukum internasional dilakukan oleh Negara lain. Untuk latihan perlindungan diplomatik kondisi tertentu harus dipenuhi.