Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil sudah waktunya diperbaiki karena mengandung kelemahan dalam praktik. Batas waktu 180 hari untuk mengajukan permohonan keberatan atas berlakunya suatu peraturan di bawah undang-undang dinilai sangat merugikan masyarakat.
Usulan untuk merevisi PERMA No 1 Tahun 2004 mencuat di sela-sela diskusi “Implementasi Pengawasan Perda oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung” yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) di Jakarta, Rabu (23/3). Hadir dalam diskusi itu perwakilan Bappenas, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, dan sejumlah pemerhati Peraturan Daerah (Perda).
Usulan itu muncul karena berdasarkan kajian yang dilakukan PSHK, juga oleh lembaga lain seperti Komnas Perempuan, banyak Perda bermasalah. Masalah bukan hanya menyangkut materi Perda yang bertentangan dengan peraturan lebih tinggi, tetapi juga mekanisme pembatalannya.
Dalam praktik sejak 2004, terjadi dualisme pembatalan Perda. Sebagian diputuskan melalui executive review di Kementerian Dalam Negeri, sebagian lagi melalui uji materiil di Mahkamah Agung. Dualisme ini terjadi karena inkonsistensi instrumen hukum yang mengatur Perda. “Mekanisme review Perda perlu ditinjau ulang,” kata M Nur Solikhin, peneliti PSHK.
PERMA No 1 Tahun 2004 diterbitkan semasa Ketua Mahkamah Agung Prof Bagir Manan. Beleid ini dibuat untuk menggantikan ketentuan tahun 1993 dan 1999. Berdasarkan PERMA ini, permohonan keberatan terhadap peraturan di bawah undang-undang dapat diajukan langsung ke Mahkamah Agung atau melalui pengadilan negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan pemohon.
Salah satu yang mendapat sorotan Solikhin adalah batas waktu 180 hari untuk mengajukan permohonan keberatan. Artinya, jika seseorang hendak mengajukan uji materiil Perda dan peraturan di bawah Undang-Undang lainnya ke Mahkamah Agung, permohonan itu belum melewati batas waktu 180 hari sejak dinyatakan berlaku. Jika lewat, permohonan akan kandas di tengah jalan. Menurut Solikhin, aturan ini bukan hanya membatasi tetapi juga berpotensi menghilangkan hak masyarakat yang merasa dirugikan atas berlakunya Perda. Bisa saja dampak negatif atau kelemahan suatu Perda baru tampak setelah melewati batas waktu 180 hari.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pada dasarnya juga memuat mekanisme pengawasan Perda. Perumusan hak uji materil dalam PERMA belum mempertimbangkan Undang-Undang ini karena ada selisih waktu sekitar tujuh bulan. Undang-Undang Pemda disahkan Oktober 2004, sedangkan PERMA No 1 Tahun 2004 terbit pada Maret 2004. “Perma itu dibuat sebelum Undang-Undang Pemda 2004 terbit,” kata Solikhin.
Pelaksanaan pengujian juga dinilai masih menjadi masalah. Selama ini ada hambatan bagi masyarakat karena sidang pengujian yang cenderung ‘tertutup’. Ke depan, PERMA harus memberikan jaminan bahwa sidang pengujian Perda bersifat terbuka. Bahkan perlu menghadirkan para pihak ke dalam ruang sidang, mendengarkan keterangan ahli, seperti halnya sidang pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi. PERMA belum mengakomodir kemungkinan itu.
Jika proses pengujian di Mahkamah Agung harus terbuka, pengujian oleh Kementerian Dalam Negeri untuk Perda Pajak dan Retribusi harus mendapat perlakuan sama. Undang-Undang Pemda juga belum mengakomodir kemungkinan hukum acara yang demikian.
Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh, mengakui sejak 2004 tidak ada perubahan sistem pengawasan Perda. Padahal lebih dari seribu Perda telah dibatalkan Kementerian Dalam Negeri sepanjang lima tahun terakhir.
Menurut Prof Zudan, ini merupakan saat yang tepat untuk mengkaji ulang sistem pengawasan Perda, karena bersamaan waktunya dengan revisi Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Senin, 23 Mei 2011
Kelemahan Pengujian Materiil di MA
Diposting oleh Win Achjani bLogspot di 5/23/2011 01:44:00 AM 0 komentar
Mekanisme Pengujian atas Peraturan Perundang-undangan di bawah UU di MA
Pengaturan lebih lanjut yang menjabarkan pelaksanaan dari ketentuan pasal 5 ayat (2) dan (3) TAP MPR No. III tahun 2000 memang belum ada. Namun sebelum keluarnya TAP MPR tersebut Mahkamah Agung memang pernah mengeluarkan Perma meskipun hal tersebut belum diperbaharui kembali seiring dengan adanya pengaturan dalam TAP MPR No. III tahun 2000 yang menyatakan kewenangan Mahkamah Agung untuk dapat secara aktif melakukan pengujian atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tanpa perlu adanya proses kasasi terlebih dahulu.
Adapun pelaksanaan pengujian atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang Berdasarkan Perma No. 1 tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil adalah sebagai berikut:
1. Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan.
• Gugatan atau permohonan keberatan hanya dapat diajukan terhadap satu peraturan perundang-undangan, kecuali terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara langsung.
2. Gugatan atau permohonan keberatan diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara:
a. Langsung ke Mahkamah Agung;
b. Melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat.
3. Gugatan atau permohonan keberatan diajukan dalam tenggat waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
4. Dalam hal gugatan atau permohonan keberatan diajukan secara langsung kepada Mahkamah Agung maka Kepaniteraan Mahkamah Agung akan memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada penggugat/pemohon keberatan atau kuasanya yang sah.
• Setelah berkas gugatan/permohonan keberatan tersebut lengkap, Panitera Mahkamah Agung menyampaikannya kepada Ketua Mahkamah Agung untuk ditetapkan Majelis Hakim Agung yang akan menangani gugatan/permohonan keberatan tersebut.
• Untuk pengujian peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada gugatan yang diajukan kepada Mahkamah Agung, setelah berkas gugatan diterima, diperiksa dan dinyatakan lengkap oleh Panitera Mahkamah Agung maka Panitera Mahkamah Agung juga wajib mengirimkan salinan gugatan tersebut kepada pihak tergugat setelah terpenuhinya kelengkapan berkasnya.
• Tergugat wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan gugatan tersebut.
5. Dalam hal gugatan/permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat maka Panitera Pengadilan Negeri akan memeriksa kelengkapan gugatan/permohonan keberatan yang telah didaftarkan dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada penggugat/pemohon keberatan atau kuasanya yang sah.
• Untuk pengujian peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri, setelah berkas gugatan diterima, diperiksa dan dinyatakan lengkap oleh Panitera Pengadilan Negeri maka Panitera Pengadilan Negeri mengirimkan salinan gugatan tersebut kepada pihak tergugat setelah terpenuhinya kelengkapan berkasnya.
• Tergugat wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera Pengadilan Negeri dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan gugatan tersebut.
• Hari berikutnya setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari di atas, Panitera Pengadilan Negeri yang bersangkutan segera meneruskan meneruskan gugatan dan jawaban penggugat kepada Mahkamah Agung untuk kemudian disampaikan Panitera Mahkamah Agung kepada Ketua Mahkamah Agung agar dapat ditetapkan Majels Hakim Agung yang akan menanganinya.
6. Gugatan/permohonan keberatan diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim Agung dengan menerapkan ketentuan yang berlaku bagi perkara gugatan/permohonan keberatan dalam waktu sesingkat-singkatnya sesuai dengan azas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
7. Dalam hal gugatan/permohonan keberatan itu beralasan karena peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka Mahkamah Agung akan mengabulkan gugatan tersebut. Mahkamah Agung akan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah dan tidak berlaku untuk umum serta memerintahkan pencabutannya kepada instansi yang bersangkutan.
• Dalam hal gugatan dinilai tidak beralasan maka Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut akan menolak gugatan/permohonan keberatan tersebut.
8. Pemberitahuan salinan putusan Mahkamah Agung terhadap gugatan/permohonan keberatan disampaikan dengan surat tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, pemberitahuan salinannya disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri tersebut.
9. Dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung dikirim kepada tergugat (dalam hal pengujian diajukan berdasarkan gugatan) / badan atau Penjabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan tersebut (dalam hal pengujian diajukan berdasarkan permohona keberatan) tidak melaksanakan kewajiban untuk mencabut peraturan yang bersangkutan maka demi hukum peraturan perundang-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
10. Putusan Majelis Hakim Agung atas gugatan/permohonan keberatan atas suatu peraturan perundangan-undangan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.
Diposting oleh Win Achjani bLogspot di 5/23/2011 01:40:00 AM 0 komentar
Jumat, 13 Mei 2011
Kepemimpinan
Nama : Win Achjani
Nim : 07.11.338
Kelas : Man SDM Pagi
PENDAHULUAN
Allah SWT menciptakan manusia untuk patuh dan tunduk kepada-Nya. Juga manusia ini diciptakan Allah SWT untuk menjadi pemimpin di muka bumi dan menyeru kepada amar ma’ruf nahi munkar.
Masalah kepemimpinan merupakan persoalan yang sangat penting dan strategis. Karena ia sangat menentukan nasib sebuah masyarakat dan bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa salah satu ciri masyarakat yang unggul dan menguasai peradaban adalah masyarakat yang memiliki pemimpin yang berwibawa, tegas, adil, berpihak pada kepentingan rakyat, memiliki visi yang kuat dan mampu menghadirkan perubahan ke arah yang lebih baik. Ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan variabel yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara. Al Qur’an telah banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Islam telah mengingatkan umatnya untuk berhati-hati di dalam memilih pemimpin. Sebab salah dalam memilih pemimpin berarti turut berkontribusi dalam menciptakan kesengsaraan rakyat. Tanggung jawab seorang pemimpin sangat besar, baik di hadapan Alah maupun di hadapan manusia.
Bicara soal “pemimpin” persepsi kita selama ini memang terbatas hanya pada orang-orang yang memiliki jabatan dalam organisasi/instansi atau lembaga tertentu. Padahal yang disebut pemimpin bukan hanya mereka. Sesungguhnya kita semua adalah pemimpin, sebagaimana ditegaskan dalam hadits diatas. Meskipun dalam sekala paling kecil.
Beberapa profesi dibawah ini juga mengemban tugas kepemimpinan, namun kita sering melupakan bahwa mereka sebenarnya pemimpin.
Guru / Ustadz adalah pemimpin bagi muridnya.
Mandor adalah pemimpin bagi kuli – kulinya.
Sopir adalah pemimpin bagi segenap penumpang dalam kendaraannya.
Juru parkir / Satpam adalah pemimpin dalam area tugasnya.
Hakim adalah pemimpin dalam persidangan.
Ayah adalah pemimpin dalam keluarganya.
Seorang kakak pun dengan sendirinya adalah pemimpin bagi adik-adiknya.
Mereka semua juga wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinan mereka. Bahkan sekali pun hanya seorang diri, kita juga pemimpin. Setidaknya kita harus mengendalikan hawa nafsu kita, dan mengontrol perilaku atau anggota badan kita sendiri, yang kesemuanya itu kelak harus kita pertanggungjawabkan kepada Allah SWT.
Dengan demikian, setiap orang Islam harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dan segala tindakannya tanpa didasari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu. Akan tetapi, pemimpin yang adil dan betul-betul memperhatikan dan berbuat sesuai dengan aspirasi rakyatnya, sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT. Dalam Al-Qur’an.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ…
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan…’’
…وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya:
“…Hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.”
Ayat diatas jelas sekali memerintahkan untuk berbuat adil kepada setiap pemimpin apa saja dan dimana saja. Seorang raja misalnya, harus berusaha untuk berbuat seadil-adilnya dan sebijaksana mungkin sesuai dengan perintah Allah SWT. Dalam meminpin rakyatnya sehingga rakyatnya hidup sejahtera.
Sebaliknya, apabila raja berlaku semena-mena, selalu bertindak sesuai kemauannya, bukan didasarkan peraturan yang ada, rakyat akan sengsara. Dengan kata lain, pemimpin harus menciptakan keharmonisan antara dirinya dengan rakyatnya sehingga ada timbal balik diantara keduanya.
Begitu pula para suami, isteri, penggembala dan siapa saja yang memiliki tanggung jawab dalam memimpin harus berusaha untuk berlaku adil dalam kepemimpinannya sehingga ia mendapat kemuliaan sebagaimana janji Allah SWT. Yang disebutkan dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW. Bahwa para pemimpin seperti itu (yang adil) termasuk salah satu golongan dari tujuh golongan yang akan memperoleh naungan, kecuali Arasy di hari kiamat, yakni pada hari yang tidak ada naungan kecuali atas izin Allah SWT.
Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanah oleh Allah SWT. Untuk memimpin rakyatnya, yang diakhirat kelak akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah SWT sebagaimana telah dijelaskan diatas. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya, karena ketidak adilannya, misalkan, ia tidak akan mampu meloloskan diri tuntutan Allah SWT kelak di akhirat.
Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap dirinya sebagai manusia super yang bebas berbuat dan memerintah apa saja kepada rakyatnya. Akan tetapi sebaliknya, ia harus berusaha memosikan dirinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran :
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya :
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman”
Dalam sebuah hadits yang diterima dari Siti Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi SAW pernah berdoa, “Ya Allah, siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku lalu mempersulit mereka, maka persulitlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku dan berlemah lembut kepada mereka, maka permudahlah baginya.”
Hal itu menunjukkan bahwa Allah dan Rasul-Nya sangat peduli terhadap hamba- Nya agar terjaga dari kezaliman para pemimpin yang kejam dan tidak bertanggung jawab. Pemerintah yang kejam dikategorikan sebagai sejahat-jahatnya pemerintah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
وَعَنْ عَائِذَ بْنَ عَمْرٍو رضي الله عنه أَنَّهُ دَخَلَ على عُبَيْدِ الله بْنِ زِيَادٍ قَالَ : يَا بُنيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إِنَّ شَرَّ الرُّعَاءِ الحُطَمَةُ ، فَإِيَّاكَ أَنْ لاَ تَكُونَ مِنْهُمْ.
Artinya :
“A’idz bin Amru r.a. ketika memasuki rumah Ubaidillah bin Ziyad, ia berkata, Hai anakku saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya sejahat-jahatnya pemerintah yaitu yang kejam, maka janganlah kau tergolong dari mereka” (H.R. Muslim)
Pemimpin zalim yang tidak mau mengayomi dan melayani rakyatnya diancam tidak akan pernah mencium harumnya surga apalagi memasukinya, sebagaimana disebutkan pada hadits diatas.
Oleh karena itu, agar kaum muslim terhindar dari pemimpin yang zalim, berhati-hatilah dalam memilih seorang pemimpin. Pemilihan pemimpin harus betul-betul yang didasarkan pada kualitas, loyalitas dan yang paling penting adalah perilaku keagamaannya. Jangan memilih mereka karena didasarkan pada rasa emosional, baik karena ras, suku bangsa, ataupun keturunan kerena jika mereka tidak dapat memimpin, rakyatlah yang akan merasakan kerugiannya.
Menurut Quraish Shihab, dari celah ayat-ayat Al-Quran ditemukan sedikitnya du pokok sifat yang harus disandang oleh seseorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal tersebut harus diperhatikan dalam menentukan seorang pemimpin. Salah satu ayat yang menerangkan tentang hal itu adalah ungkapan putri Nabi Syu’aib yang dibenarkan dan diabadikan Al-Quran :
…إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Artinya :
“Sesungguhnya orang yang paling baik engkau tugaskan adalah yang kuat lagi dipercaya”
Kedua kriteria itu yang menjadi landasan utama ketika Abu Bakar r.a. menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai ketua panitia pengumpulan Mushaf. Alasannya antara lain tersirat dalam ungkapannya, “Engkau seorang pemuda (kuat lagi bersemangat) dan telah dipercaya oleh Rasulullah SAW untuk menulis wahyu. Bahkan Allah SWT pun memilih Jibril sebagai pembawa wahyu-Nya, antara lain, karena malaikat Jibril memilki sifat kuat dan terpercaya.
Kedudukan seorang pemimpin sangat tinggi dalam agama Islam, sehingga ketaatan kepada mereka pun disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Namun demikian, bukan berarti ketaatan yang tampa batas karena kewajiban taat pada seorang pemimpin hanyalah dalam hal-hal yang tidak berhubungan dengan kemaksiatan (dosa), sebagaimana dijelaskan dalam hadits pertama. Apabila pemimpin memerintahkan bawahannya berbuat dosa, perintah itu tidaklah wajib ditaati, bahkan bawahannya harus mengingatkannya.
Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah memerintahkan seorang bekas budak untuk menggunakan kulit kambing yang telah mati, tetapi budak tersebut tidak menuruti perintah Rasulullah SAW. Ia beranggapan bahwa menggunakan kulit kambing adalah haram sebagaimana diharamkan memakannya. Nabi kemudian menjelaskan kepadanya bahwa mempergunakan kulit binatang yang mati tidak diharamkan.
Sikap bekas budak tersebut menunjukkan bahwa ia tidak mau taat kepada pemimpin sekalipun kepada Rasulullah SAW, kalu ia menganggap bahwa perintah tersebut untuk melakukan perbuatan maksiat. Ia menganggap bahwa Rasulullah memerintahkannya untuk berbuat maksiat dengan menyuruhnya mempergunakan kulit kambing yang mati.
Begitu pula pada hadits kedua, para sahabat tidak mau menuruti perintah pemimpinnya waktu mereka diperintahkan masuk ke dalam api, karena perintah seperti itu mereka anggap tidak benar. Ternyata perbuatan para sahabat yang menentang perintah pimpinan mereka tersebut dibenarkan Rasulullah SAW.
PENUTUP
Menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut,karena kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu.
Dalam Islam sudah ada aturan-aturan yang berkaitan dengan hal tersebut, diantaranya sebagai berikut:
1. Niat yang Lurus
Hendaklah saat menerima suatu tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan. Lalu iringi hal itu dengan mengharapkan keridhaan-Nya saja.Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
2. Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin.Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
3. Berpegang pada Hukum Allah
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah berfirman,”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49). Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dicopot dari jabatannya.
4. Memutuskan Perkara Dengan Adil
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
5. Tidak Menerima Hadiah
Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati. Oleh karena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya.Rasulullah bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).
6. Mencari Pemimpin yang Baik
Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan seorang khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan pejabat (pembantu).Yaitu pejabat yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pejabat yang menyuruh kepada kemungkaran dan mendorongnya ke sana.Maka orang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).
7. Lemah Lembut
Doa Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.
Diposting oleh Win Achjani bLogspot di 5/13/2011 10:45:00 AM 0 komentar
akhirx sy pux anti Virus "ARTAV"..
Diposting oleh Win Achjani bLogspot di 5/13/2011 10:43:00 AM 0 komentar
Kepemimpinan dalam Islam
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan…’’
…وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“…Hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.”
Begitu pula para suami, isteri, penggembala dan siapa saja yang memiliki tanggung jawab dalam memimpin harus berusaha untuk berlaku adil dalam kepemimpinannya sehingga ia mendapat kemuliaan sebagaimana janji Allah SWT. Yang disebutkan dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW. Bahwa para pemimpin seperti itu (yang adil) termasuk salah satu golongan dari tujuh golongan yang akan memperoleh naungan, kecuali Arasy di hari kiamat, yakni pada hari yang tidak ada naungan kecuali atas izin Allah SWT.
Diposting oleh Win Achjani bLogspot di 5/13/2011 10:41:00 AM 0 komentar
Senin, 09 Mei 2011
TEORI JOHN RAWLS
Diposting oleh Win Achjani bLogspot di 5/09/2011 02:47:00 AM 0 komentar
Minggu, 08 Mei 2011
Pulau Windscale
(3) Rydal telah berdiri untuk memohon BIT Aspatria-Rydal untuk melindungi aset dari sebuah perusahaan Rydalian di Aspatria dan penyitaan aset tersebut merupakan pelanggaran dari BIT Aspatria-Rydal.
Diposting oleh Win Achjani bLogspot di 5/08/2011 09:09:00 AM 1 komentar