Nama : Win Achjani
Nim : 07.11.338
Kelas : Man SDM Pagi
PENDAHULUAN
Allah SWT menciptakan manusia untuk patuh dan tunduk kepada-Nya. Juga manusia ini diciptakan Allah SWT untuk menjadi pemimpin di muka bumi dan menyeru kepada amar ma’ruf nahi munkar.
Masalah kepemimpinan merupakan persoalan yang sangat penting dan strategis. Karena ia sangat menentukan nasib sebuah masyarakat dan bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa salah satu ciri masyarakat yang unggul dan menguasai peradaban adalah masyarakat yang memiliki pemimpin yang berwibawa, tegas, adil, berpihak pada kepentingan rakyat, memiliki visi yang kuat dan mampu menghadirkan perubahan ke arah yang lebih baik. Ajaran Islam secara tegas menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan variabel yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara. Al Qur’an telah banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Islam telah mengingatkan umatnya untuk berhati-hati di dalam memilih pemimpin. Sebab salah dalam memilih pemimpin berarti turut berkontribusi dalam menciptakan kesengsaraan rakyat. Tanggung jawab seorang pemimpin sangat besar, baik di hadapan Alah maupun di hadapan manusia.
Bicara soal “pemimpin” persepsi kita selama ini memang terbatas hanya pada orang-orang yang memiliki jabatan dalam organisasi/instansi atau lembaga tertentu. Padahal yang disebut pemimpin bukan hanya mereka. Sesungguhnya kita semua adalah pemimpin, sebagaimana ditegaskan dalam hadits diatas. Meskipun dalam sekala paling kecil.
Beberapa profesi dibawah ini juga mengemban tugas kepemimpinan, namun kita sering melupakan bahwa mereka sebenarnya pemimpin.
Guru / Ustadz adalah pemimpin bagi muridnya.
Mandor adalah pemimpin bagi kuli – kulinya.
Sopir adalah pemimpin bagi segenap penumpang dalam kendaraannya.
Juru parkir / Satpam adalah pemimpin dalam area tugasnya.
Hakim adalah pemimpin dalam persidangan.
Ayah adalah pemimpin dalam keluarganya.
Seorang kakak pun dengan sendirinya adalah pemimpin bagi adik-adiknya.
Mereka semua juga wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinan mereka. Bahkan sekali pun hanya seorang diri, kita juga pemimpin. Setidaknya kita harus mengendalikan hawa nafsu kita, dan mengontrol perilaku atau anggota badan kita sendiri, yang kesemuanya itu kelak harus kita pertanggungjawabkan kepada Allah SWT.
Dengan demikian, setiap orang Islam harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dan segala tindakannya tanpa didasari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu. Akan tetapi, pemimpin yang adil dan betul-betul memperhatikan dan berbuat sesuai dengan aspirasi rakyatnya, sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT. Dalam Al-Qur’an.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ…
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan…’’
…وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya:
“…Hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.”
Ayat diatas jelas sekali memerintahkan untuk berbuat adil kepada setiap pemimpin apa saja dan dimana saja. Seorang raja misalnya, harus berusaha untuk berbuat seadil-adilnya dan sebijaksana mungkin sesuai dengan perintah Allah SWT. Dalam meminpin rakyatnya sehingga rakyatnya hidup sejahtera.
Sebaliknya, apabila raja berlaku semena-mena, selalu bertindak sesuai kemauannya, bukan didasarkan peraturan yang ada, rakyat akan sengsara. Dengan kata lain, pemimpin harus menciptakan keharmonisan antara dirinya dengan rakyatnya sehingga ada timbal balik diantara keduanya.
Begitu pula para suami, isteri, penggembala dan siapa saja yang memiliki tanggung jawab dalam memimpin harus berusaha untuk berlaku adil dalam kepemimpinannya sehingga ia mendapat kemuliaan sebagaimana janji Allah SWT. Yang disebutkan dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW. Bahwa para pemimpin seperti itu (yang adil) termasuk salah satu golongan dari tujuh golongan yang akan memperoleh naungan, kecuali Arasy di hari kiamat, yakni pada hari yang tidak ada naungan kecuali atas izin Allah SWT.
Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanah oleh Allah SWT. Untuk memimpin rakyatnya, yang diakhirat kelak akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah SWT sebagaimana telah dijelaskan diatas. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya, karena ketidak adilannya, misalkan, ia tidak akan mampu meloloskan diri tuntutan Allah SWT kelak di akhirat.
Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap dirinya sebagai manusia super yang bebas berbuat dan memerintah apa saja kepada rakyatnya. Akan tetapi sebaliknya, ia harus berusaha memosikan dirinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Quran :
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya :
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, Yaitu orang-orang yang beriman”
Dalam sebuah hadits yang diterima dari Siti Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi SAW pernah berdoa, “Ya Allah, siapa yang menguasai sesuatu dari urusan umatku lalu mempersulit mereka, maka persulitlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku dan berlemah lembut kepada mereka, maka permudahlah baginya.”
Hal itu menunjukkan bahwa Allah dan Rasul-Nya sangat peduli terhadap hamba- Nya agar terjaga dari kezaliman para pemimpin yang kejam dan tidak bertanggung jawab. Pemerintah yang kejam dikategorikan sebagai sejahat-jahatnya pemerintah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
وَعَنْ عَائِذَ بْنَ عَمْرٍو رضي الله عنه أَنَّهُ دَخَلَ على عُبَيْدِ الله بْنِ زِيَادٍ قَالَ : يَا بُنيَّ إِنِّي سَمِعْتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إِنَّ شَرَّ الرُّعَاءِ الحُطَمَةُ ، فَإِيَّاكَ أَنْ لاَ تَكُونَ مِنْهُمْ.
Artinya :
“A’idz bin Amru r.a. ketika memasuki rumah Ubaidillah bin Ziyad, ia berkata, Hai anakku saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya sejahat-jahatnya pemerintah yaitu yang kejam, maka janganlah kau tergolong dari mereka” (H.R. Muslim)
Pemimpin zalim yang tidak mau mengayomi dan melayani rakyatnya diancam tidak akan pernah mencium harumnya surga apalagi memasukinya, sebagaimana disebutkan pada hadits diatas.
Oleh karena itu, agar kaum muslim terhindar dari pemimpin yang zalim, berhati-hatilah dalam memilih seorang pemimpin. Pemilihan pemimpin harus betul-betul yang didasarkan pada kualitas, loyalitas dan yang paling penting adalah perilaku keagamaannya. Jangan memilih mereka karena didasarkan pada rasa emosional, baik karena ras, suku bangsa, ataupun keturunan kerena jika mereka tidak dapat memimpin, rakyatlah yang akan merasakan kerugiannya.
Menurut Quraish Shihab, dari celah ayat-ayat Al-Quran ditemukan sedikitnya du pokok sifat yang harus disandang oleh seseorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal tersebut harus diperhatikan dalam menentukan seorang pemimpin. Salah satu ayat yang menerangkan tentang hal itu adalah ungkapan putri Nabi Syu’aib yang dibenarkan dan diabadikan Al-Quran :
…إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Artinya :
“Sesungguhnya orang yang paling baik engkau tugaskan adalah yang kuat lagi dipercaya”
Kedua kriteria itu yang menjadi landasan utama ketika Abu Bakar r.a. menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai ketua panitia pengumpulan Mushaf. Alasannya antara lain tersirat dalam ungkapannya, “Engkau seorang pemuda (kuat lagi bersemangat) dan telah dipercaya oleh Rasulullah SAW untuk menulis wahyu. Bahkan Allah SWT pun memilih Jibril sebagai pembawa wahyu-Nya, antara lain, karena malaikat Jibril memilki sifat kuat dan terpercaya.
Kedudukan seorang pemimpin sangat tinggi dalam agama Islam, sehingga ketaatan kepada mereka pun disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Namun demikian, bukan berarti ketaatan yang tampa batas karena kewajiban taat pada seorang pemimpin hanyalah dalam hal-hal yang tidak berhubungan dengan kemaksiatan (dosa), sebagaimana dijelaskan dalam hadits pertama. Apabila pemimpin memerintahkan bawahannya berbuat dosa, perintah itu tidaklah wajib ditaati, bahkan bawahannya harus mengingatkannya.
Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah memerintahkan seorang bekas budak untuk menggunakan kulit kambing yang telah mati, tetapi budak tersebut tidak menuruti perintah Rasulullah SAW. Ia beranggapan bahwa menggunakan kulit kambing adalah haram sebagaimana diharamkan memakannya. Nabi kemudian menjelaskan kepadanya bahwa mempergunakan kulit binatang yang mati tidak diharamkan.
Sikap bekas budak tersebut menunjukkan bahwa ia tidak mau taat kepada pemimpin sekalipun kepada Rasulullah SAW, kalu ia menganggap bahwa perintah tersebut untuk melakukan perbuatan maksiat. Ia menganggap bahwa Rasulullah memerintahkannya untuk berbuat maksiat dengan menyuruhnya mempergunakan kulit kambing yang mati.
Begitu pula pada hadits kedua, para sahabat tidak mau menuruti perintah pemimpinnya waktu mereka diperintahkan masuk ke dalam api, karena perintah seperti itu mereka anggap tidak benar. Ternyata perbuatan para sahabat yang menentang perintah pimpinan mereka tersebut dibenarkan Rasulullah SAW.
PENUTUP
Menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut,karena kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu.
Dalam Islam sudah ada aturan-aturan yang berkaitan dengan hal tersebut, diantaranya sebagai berikut:
1. Niat yang Lurus
Hendaklah saat menerima suatu tanggung jawab, dilandasi dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan. Lalu iringi hal itu dengan mengharapkan keridhaan-Nya saja.Kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
2. Tidak Meminta Jabatan
Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin.Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
3. Berpegang pada Hukum Allah
Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah berfirman,”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.” (al-Maaidah:49). Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dicopot dari jabatannya.
4. Memutuskan Perkara Dengan Adil
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
5. Tidak Menerima Hadiah
Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil hati. Oleh karena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari rakyatnya.Rasulullah bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).
6. Mencari Pemimpin yang Baik
Rasulullah bersabda,”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau menjadikan seorang khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan pejabat (pembantu).Yaitu pejabat yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana, dan pejabat yang menyuruh kepada kemungkaran dan mendorongnya ke sana.Maka orang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari Abu said Radhiyallahu’anhu).
7. Lemah Lembut
Doa Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah kepadanya.
Jumat, 13 Mei 2011
Kepemimpinan
Diposting oleh Win Achjani bLogspot di 5/13/2011 10:45:00 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar