Sejarah Legal Review Oleh Extra Judicial
Dalam catatan sejarah dunia, tahun 1814, 1848, dan 1972, Belanda telah mengalami perubahan konstitusi yang dilakukan oleh Staten General Parlement. Ini menandakan di tahun tersebut telah dimulainya peninjauan kembali produk keputusan (legal review) yang dilakukan oleh lembaga diluar yudisial.
Di Indonesia sendiri, sejak berdiri yakni diikrarkannya proklamasi, telah mengalami beberapa kali perubahan UUD yaitu, UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950, UUD 1945 Amandemen I tahun 1999, UUD 1945 Amandemen II tahun 2000, UUD 1945 Amandemen III tahun 2001, dan UUD 1945 Amandemen IV tahun 2002. Selain legislative review tersebut, legal review dilakukan juga lembaga eksekutif, atau eksecutive review atas beberapa Peraturan Daerah/Lokal yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, bahkan oleh Gubernur, maupun Bupati/Walikota.
Legislative Review
Periode UUD 1945
Pernyataan kemerdekaan Indonesia yang ditandai dengan proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 ialah suara rakyat Indonesia kepada dunia, bahwa bangsa Indonesia telah merdeka dan berdaulat. Inilah momen dimulainya Republik Indonesia mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Sehari kemudian, 18 Agustus, ditetapkannya UUD negara yang kemudian dikenal dengan UUD 1945.
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945, adalah Badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945 Ir.Sukarno menyampaikan gagasan tentang “Dasar Negara” yang diberi nama Pancasila. Kemudian BPUPK membentuk Panitia Kecil yang terdiri dari 8 orang untuk menyempurnakan rumusan Dasar Negara. Pada tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” maka naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP, parlemean saat itu) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Nama Badan ini tanpa kata “Indonesia” karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa saja. Di Sumatera ada BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
Dalam UUD 1945, lembaga-lembaga negara yang diatur antara lain : MPR, MA, DPA, Presiden, BPK, dan DPR.
Periode Konstitusi RIS
Tahun 1949, dengan menurutkan turun naiknya gelombang Revolusi Indonesia, maka sesudah politik Belanda hendak meruntuhkan Republik Indonesia dengan menjalankan aksi militer sampai dua kali dengan besar-besaran, maka berkat kuatnya persatuan antara republik Indonesia dengan daerah-daerah de facto Belanda di luar daerah republik tercapailah persetujuan pada tanggal 22 Juli 1949 dalam Kongres Antara Indonesia di Kota Yogyakarta hendak mendirikan Republik Indonesia serikat berdasarkan Demokrasi dan Federalisme. Negara Persatuan Federal ini adalah untuk sementara dan hanyalah sekedar untuk memungkinkan membentuk suatu negara Persatuan Indonesia yang meliputi segenap Tanah Air dan Bangsa Indonesia, sedangkan pertukaran dasar federalisme menuju dasar unitarime akan dilanjutkan sebagai perubahan dalam negeri antara Indoensia dengan Indonesia, diluar campuran Belanda. (Muhammad Yamin, 1982: 39)
Pada konferensi ini ditetapkan pula, bahwa yang menjadi Presiden Federal akan dipilih oleh negara-negara bagian dan daerah bagian yang lain; begitupula dalam konferensi itu ditetapkan tentang pembentukan Mahkamah Agung, dan garis besar mengenai kewarganegaraan Indonesia. Tentang hak kemanusiaan kan dituruti Universal Declaration of Human Rights, seperti ditetapkan oleh sidang Persekutuan Bangsa-Bangsa tanggal 10 Desember 1948.
Tanggal 29 oktober 1949 ditandatanganilah Piagam Persetujuan di banda Scheveningen, sebagai tanda paraf atas Konstitusi RIS oleh Delegasi Republik Indonesia dan seluruh delegasi Permusyawaratan Federal - BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg).
Demikianlah karena situasi politik saat itu, UUD 1945 dilakukan review. Rencana Konstitusi Republik Indonesia Serikat disiapkan oleh kedua delegasi Indonesia dan pertemuan untuk Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) selama sidang-sidang Konferensi Meja Bundar. Pada Desember 1949 setelah disetujui oleh Sidang Pleno Komite Nasional Pusat dan badan-badan perwakilan dari daerah-daerah bagian lainnya. Wakil Pemerintah Republik Indonesia dan wakil-wakil Pemerintah Daerah menyetujui Konstitusi 1949 tersebut. Dengan catatan bahwa Konstitusi RIS merupakan konstitusi sementara sama halnya dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam Konstitusi RIS ini maka lembaga-lembaga negara yang ada adalah: Mahkamah Agung, Dewan Pengawas Keuangan, Menteri-Menteri, Presiden, Senat, dan DPR. Presiden dan Menteri-menteri melaksanakan fungsi eksekutif, Mahkamah Agung, fungsi Yudisial, dan Senat juga DPR melaksanakan fungsi legislatif.
Inilah untuk pertama kalinya di Indonesia, sebuah produk keputusan yang sah (legal) di lakukan review.
Periode UUDS 1950
Selanjutnya, 19 Mei 1950 tercapailah persetujuan antara RIS dan RI untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun Undang-Undang Dasar Sementara Negara kesatuan RI ialan perubahan Konstitusi RIS 1949 dan perubahan ini dibolehkan oleh Konstitusi RIS sesuai dengan pasal 190. Pasal ini berisi ketentuan bahwa Konstitusi RIS boleh diubah, apabila keputusan dapat diambil dengan pemufakatan sidang Senat dan DPR RIS, yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota sidang.
Syarat ini terpenuhi sehingga berubahalah bentuk federal dengan bentuk kesatuan. Dan kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno mengikrarkan bentuk unitaris sudah kembali meliputi seluruh Indonesia
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, atau dikenal dengan UUDS 1950, adalah konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya Konstituente hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.
Lembaga negara yang diatur dalam UUDS 1950 adalah, Badan Konstituante, Majelis Perubahan Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dan Wakil Presiden, Menteri-Menteri, Dewan Pengawas Keuangan, dan Mahkamah Agung.
Periode berlakunya kembali UUD 1945 Juli 1959 - Maret 1966
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
- Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
- MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
- Pemberotakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September PKI
Periode 1966-1998 (Orde Baru)
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni, terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan pasal 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan potensi kekayaan alam kita.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui sejumlah peraturan:
- Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
- Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
Periode 21 Mei 1998 – 19 Oktober 1999 dikenal dengan masa transisi. Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa saat itu.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensil.
Dalam kurun waktu 1999 - 2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
1. Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999, Perubahan Pertama UUD 1945
2. Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 17-18 Agustus 2000, Perubahan Kedua UUD 1945
3. Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2000, Perubahan Ketiga UUD 1945.
4. Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002, Perubahan Keempat UUD 1945
Hingga perubahan keempat UUD 1945, lembaga negara yang diatur antara lain : BPK, MPR yang terdiri dari DPD dan DPR sebagai lembaga legislatif, Presiden dan Wapres sebagai lembaga eksekutif, dan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai lembaga yudikatif. (***)
0 komentar:
Posting Komentar